Jika boleh diumpamakan, menjalani pekerjaan ini
seperti mengendarai sebuah mobil. Akan menuju kemana dia, sangat bergantung
kepada orang yang memegang kendali pada stirnya. Jika kita percaya bahwa ini
adalah pekerjaan kita, maka kita pun mesti menyadari bahwa ini adalah ‘kendaraan’
milik kita sendiri. Dan karena ini adalah kendaraan kita sendiri, maka kitalah
yang memegang kendali; mau diarahkan kemana karir kita ini? Perhatikan mobil
atau motor milik Anda. Apakah Anda menyerahkan begitu saja kepada orang lain
untuk mengendarainya kemana saja mereka suka? Tidak dong pastinya. Anda, akan
dengan penuh rasa percaya diri mengambil kendali mesti kemana mobil atau motor
itu menuju. Bagaimana dengan karir Anda? Apakah Anda yang menentukan arah
perkembangannya dimasa depan? Ataukah Anda menyerahkan kendalinya kepada orang
lain?
Pekerjaan sebagai trainer memungkinkan saya
bepergian ke berbagai tempat. Kadang lokasinya cukup jauh dari bandara.
Sehingga bisa menghabiskan berjam-jam lagi perjalanan lanjutan. Kondisi ini
memberi kesempatan berbicang-bincang dengan pengemudi yang bertugas untuk
mengantar dan menjemput saya. Masing-masing orang punya cerita. Namun dalam hal
profesi mengemudi ini, mereka punya tema yang sama. Yaitu; bagaimana mereka
menjalani profesinya. Tampaknya sih memang gampang ya. Hanya mengemudikan
kendaraan saja. Sebuah tindakan yang bisa dilakukan hampir oleh siapa saja, dan
dari kalangan mana saja. Tapi, melalui berbagai perbincangan itu saya paham
bahwa; pekerjaan mereka itu tidak semudah kelihatannya.
Pekerjaan Anda dan saya kira-kira begitu juga kan
ya. Tampaknya sederhana saja. Tetapi kenyataannya, tidak semua orang bisa
menjalaninya dengan gairah yang menggelora. Komitmen yang tinggi. Maupun
kecintaan yang murni. “Persoalannya sih bukan kurang gairah, rendah komitmen
atau nggak cinta. Tapi, apalah gunanya gairah kalau, imbalannya tak
menggairahkan kan? Apa artinya komitmen jika hasilnya tidak sepadan. Dan apa
juga nilainya cinta jika kenikmatan yang didapat darinya tidak sesuai harapan.”
Anda kadang bertanya demikian? Tidak sepenuhnya
salah sih. Tetapi, mari kita simak pelajaran apa yang saya dapat dari para
sopir itu. “Anda mulai bekerja dari jam berapa?” Demikian saya bertanya. Dan
dijawabnya bahwa jam 8 harus sudah tiba di kantor boss. Kalau telat sedikit
saja, katanya, maka boss akan menyuruhnya pulang. Kalau disuruh pulang begitu,
berarti hari itu dia tidak bisa mendapatkan penghasilan untuk menafkahi
keluarganya. Bagaimana dengan kita? Kayaknya, terlambat datang ke kantor sudah
menjadi budaya ya? Melenggak lenggok saja kita, karena toh tidak ada resikonya.
Ini menunjukkan bahwa kondisi kerja kita, masih jauh lebih baik daripada para
sopir yang pernah menjemput saya itu.
“Pulang ke rumah paling cepat jam berapa?” demikian
pertanyaan saya yang lainnya.
“Ya… tak tentu lah Pak…” demikian rata-rata mereka
menjawab. Tetapi, semua sopir yang saya
tanya bisa dipastikan tidak ada yang bisa pulang ke rumahnya lebih cepat dari
jam 8 malam. Kebanyakan kita, sudah boleh meninggalkan kantor jam 5 sore kan?
Untuk teman-teman di daerah, mungkin sudah bisa tiba kembali ke rumah sebelum
beduk magrib. Teman-teman yang berkantor di Jakarta agak beda. Boleh jadi,
sampai ke rumah jam tujuh atau lebih. Para sopir itu, meskipun di daerah tidak
bisa pulang lebih cepat dari jam delapan malam. “Itu pun jarang kalilah Pak…”
tambahnya lagi.
“Jarang bagaimana maksud Bapak?” Saya kembali
bertanya.
“Yaaah kita kan mesti kejar setoran Pak. Kalau belum
dapat, ya tidak bisa pulang…” jawabnya. “Ya kita tunggulah penumpang itu di
bandara. Siapa tahu kita bisa dapat sewa kan?” katanya lagi. Kalau beruntung
katanya mereka bisa mendapatkan orang yang mau menyewa jam 8 malam di bandara.
Lalu mengantar ke lokasi, dan bisa pulang ke rumah sekitar jam sebelas malam.
Kita yang bekerja di kota, memang kadang pulang sampai larut malam juga. Tapi,
kita mengalaminya kadang-kadang saja. Kalau orang-orang yang saya bisa
berbincang ini justru pulang jam 8 malam itu yang kadang-kadang.
“Tapi kalau kami ndak beruntung ya nunggulah sampai
penerbangan terakhir yang jam 11 itu…” katanya lagi. Jika mereka dapat
penumpang pada penerbangan terakhir itu, maka mereka bisa sampai ke rumah
sekitar jam 3 pagi. Allahu Akbar, demikian saya terpekik didalam hati.
“Alhamdulillah kan kita dapat rezeki,” demikian
saya merespon. Entah itu respon yang tepat, atau sekedar terucap karena tidak
tahu mesti berkata apa lagi.
“Ya tidak mesti juga Pak…” jawaban itu sungguh
tidak terduga.
“M-maksud Bapak?” Spontan saya bertanya begitu.
“Kalau nggak ada sewa – maksudnya orang yang mau
menggunakan jasa mereka – maka kami tidur pula di bandara….” Katanya.
Ya Allah…, demikian batin saya setengah menjerit.
Perasaan. Seberat-beratnya pekerjaan saya dulu.
Tidak pernah mesti sampai menginap dikantor. Ada sih periode yang berat.
Misalnya ketika kami mesti membuat laporan keuangan ke kantor pusat. Atau
ketika sedang ada project yang benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Tapi,
perasaan sih kantor kami menyediakan penginapan yang layak. Kantor Anda juga
begitu kan? Sedangkan para sopir itu ya tidurnya di jok mobilnyalah. Saya
pernah merasakan bagaimana tidur di mobil. Ketika pergi berkemah digunung. Terus
hujan lebat sehingga tenda kebanjiran. Lalu mengungsi kedalam mobil. Dan tahu
persis bahwa tidur di jok mobil itu tidak begitu nyaman.
“Berapa bisa bawa pulang uang ke rumah?” pertanyaan
saya kali ini sudah nakal sekali.
“Setelah dipotong setoran, minyak, bayar agen ya….dapatlah
lima puluh ribu Pak,” katanya. Jawabannya membuat hati saya kembali menyebut
nama Allah. Gaji saya dulu waktu masih menjadi salesman, juga tidak besar. Tapi
pekerjaan saya, tidak seberat itu. Anda juga kan? Zaman sekarang UMR pun sudah
lebih baik lagi. Dan untuk mendapatkannya, kita tidak mesti bekerja seperti
para sopir itu. Alhamdulillah….
Dalam salah satu perjalanan itu, saya meminta sopir
yang mengantar ke Bandara untuk mampir ke rumah makan. “Tolong cari yang paling
enak ya Pak…” demikian saya meminta. Ada
yang enak sekali katanya, tapi setelah melihat ketersediaan waktu menjelang
penerbangan saya tampaknya tidak cukup. Bisa terlambat kalau dipaksakan. “Bagaimana
kalau kita ceck-in dulu sekarang, lalu kita pergi ke restoran itu?” maklum
orang kota kan suka asal njeplak saja kalau meminta sesuatu. Tidak memikirkan
dampaknya bagi orang yang mendengarnya.
Pak sopir itu berpikir beberapa saat, lalu katanya….”Nampaknya
bisa juga Pak…” Lalu kendaraan kami pun melaju menuju ke Bandara. Sesampainya
di Bandara, ternyata kondisi tidak seperti yang saya kira. Didaerah,
fasilitasnya kan tidak seperti di kota. Early check-in tidak memungkinkan
disini. Mesti nunggu 2 jam sebelum penerbangan. Padahal, tujuan saya justru
ingin early check-in itu agar bisa pergi makan enak di restoran. Tapi mau
bagaimana lagi kan? Saya tanya pak sopir. “Masih bisa Pak…” katanya. Sehingga
saya pun menunggu sampai konter check-in dibuka setengah jam lagi. Setelah bisa
ceck-ini, kami langsung meluncur ke restoran itu.
Tidak akan saya ceritakan soal nikmat, lezatnya
sajian di restoran itu. Tapi akan saya ceritakan bagaimana selama perjalanan
menuju dan kembali dari restoran itu pak sopir berkali-kali ditelepon. “Siapa
itu?” saya bertanya. Dijawabnya bahwa itu orang kantor. “Kenapa mesti sesering
itu mereka menelepon?” Jawabannya lebih mengejutkan lagi.
Orang kantor mengingatkan terus untuk memastikan
saya tidak ketinggalan pesawat. Katanya, saya sekarang sepenuhnya menjadi
tanggungjawabnya. Jika sampai terlambat maka dia harus mengganti tiket pesawat
saya. Ya Allah. Padahal pergi ke restoran itu kan saya yang mau. Bahkan ketika
kami sudah kembali ke bandara, sopir kami pun masih juga menerima telepon
peringatan itu. “Bapak pernah mengganti tiket pesawat beneran?” saya bertanya.
“Pernah Pak,” jawabnya. “Satu juta delapan ratus
ribu, Pak…” katanya.
Ya Allaaaaah, kali ini suara saya tidak bisa
dipendam didalam hati. “Terus gimana dong?” demikian saya lampiaskan rasa
penasaran.
“Dipotong penghasilan setiap hari sampai lunas Pak…”
Oh, Allah. Cukup. Saya sudah cukup mengerti pesan
yang hendak Engkau sampaikan melalui kisah sopir pengantar saya ini. Tidak
pernah terbayangkan selama ini jika ada orang-orang yang mesti bekerja dan pagi
buta hingga bertemu pagi buta berikutnya. Hanya untuk mendapatkan 50 ribu
rupiah nafkah keluarganya. Meski kadang bisa dapat lebih dari itu. Tapi, itu
pun masih harus dipotong lagi untuk membayar biaya-biaya ini dan itu.
Sahabatku. Saya yakin. Jika Anda bisa membaca
artikel saya. Anda bukan level pekerja seperti yang saya ceritakan. Anda, pasti
punya pekerjaan yang kondisinya lebih baik dari mereka. Saya juga sama seperti
Anda. Tetapi, kita. Kurang sering lupa mensyukuri pekerjaan ini. Sehingga jika
karir kita tidak berkembang, ada banyak pihak yang bisa disalahkan. Jika
penghasilan kita tidak memadai, ada orang yang bisa diadili. Padahal, selain
karir kita ini lebih baik dari banyak sekali orang lainnya. Kita juga adalah
pemegang stir kendaraan karir ini. Tidak seperti para sopir itu. Yang selain mesti
menyetir kemana saja yang penumpangnya inginkan, mereka juga diganjar dengan
imbalan yang tidak selalu sepadan.
Kita, bagaimanapun juga. Jauh lebih beruntung dari
mereka. Karena selain kondisi kerja kita lebih baik. Bayaran yang lebih layak.
Kita juga bisa menyetir kendaraan karir ini kearah mana saja yang kita suka.
Tinggal kita syukuri lebih banyak. Dan kita mengambil keputusan untuk mengemudikannya
kemasa depan yang lebih baik. Karena sahabatku, kita sendirilah yang
mengemudikan stir karir ini. Dan kita akan lebih lega. Lebih bahagia. Lebih
merasa bermakna. Jika mengemudikan stir karir ini, dalam rasa syukur.
-Dadang Kadarusman-