Kamis, 18 Juli 2013

Mengemudikan Stir Karir




Jika boleh diumpamakan, menjalani pekerjaan ini seperti mengendarai sebuah mobil. Akan menuju kemana dia, sangat bergantung kepada orang yang memegang kendali pada stirnya. Jika kita percaya bahwa ini adalah pekerjaan kita, maka kita pun mesti menyadari bahwa ini adalah ‘kendaraan’ milik kita sendiri. Dan karena ini adalah kendaraan kita sendiri, maka kitalah yang memegang kendali; mau diarahkan kemana karir kita ini? Perhatikan mobil atau motor milik Anda. Apakah Anda menyerahkan begitu saja kepada orang lain untuk mengendarainya kemana saja mereka suka? Tidak dong pastinya. Anda, akan dengan penuh rasa percaya diri mengambil kendali mesti kemana mobil atau motor itu menuju. Bagaimana dengan karir Anda? Apakah Anda yang menentukan arah perkembangannya dimasa depan? Ataukah Anda menyerahkan kendalinya kepada orang lain?   
 
Pekerjaan sebagai trainer memungkinkan saya bepergian ke berbagai tempat. Kadang lokasinya cukup jauh dari bandara. Sehingga bisa menghabiskan berjam-jam lagi perjalanan lanjutan. Kondisi ini memberi kesempatan berbicang-bincang dengan pengemudi yang bertugas untuk mengantar dan menjemput saya. Masing-masing orang punya cerita. Namun dalam hal profesi mengemudi ini, mereka punya tema yang sama. Yaitu; bagaimana mereka menjalani profesinya. Tampaknya sih memang gampang ya. Hanya mengemudikan kendaraan saja. Sebuah tindakan yang bisa dilakukan hampir oleh siapa saja, dan dari kalangan mana saja. Tapi, melalui berbagai perbincangan itu saya paham bahwa; pekerjaan mereka itu tidak semudah kelihatannya.
 
Pekerjaan Anda dan saya kira-kira begitu juga kan ya. Tampaknya sederhana saja. Tetapi kenyataannya, tidak semua orang bisa menjalaninya dengan gairah yang menggelora. Komitmen yang tinggi. Maupun kecintaan yang murni. “Persoalannya sih bukan kurang gairah, rendah komitmen atau nggak cinta. Tapi, apalah gunanya gairah kalau, imbalannya tak menggairahkan kan? Apa artinya komitmen jika hasilnya tidak sepadan. Dan apa juga nilainya cinta jika kenikmatan yang didapat darinya tidak sesuai harapan.”  
 
Anda kadang bertanya demikian? Tidak sepenuhnya salah sih. Tetapi, mari kita simak pelajaran apa yang saya dapat dari para sopir itu. “Anda mulai bekerja dari jam berapa?” Demikian saya bertanya. Dan dijawabnya bahwa jam 8 harus sudah tiba di kantor boss. Kalau telat sedikit saja, katanya, maka boss akan menyuruhnya pulang. Kalau disuruh pulang begitu, berarti hari itu dia tidak bisa mendapatkan penghasilan untuk menafkahi keluarganya. Bagaimana dengan kita? Kayaknya, terlambat datang ke kantor sudah menjadi budaya ya? Melenggak lenggok saja kita, karena toh tidak ada resikonya. Ini menunjukkan bahwa kondisi kerja kita, masih jauh lebih baik daripada para sopir yang pernah menjemput saya itu.
 
“Pulang ke rumah paling cepat jam berapa?” demikian pertanyaan saya yang lainnya.
“Ya… tak tentu lah Pak…” demikian rata-rata mereka menjawab.  Tetapi, semua sopir yang saya tanya bisa dipastikan tidak ada yang bisa pulang ke rumahnya lebih cepat dari jam 8 malam. Kebanyakan kita, sudah boleh meninggalkan kantor jam 5 sore kan? Untuk teman-teman di daerah, mungkin sudah bisa tiba kembali ke rumah sebelum beduk magrib. Teman-teman yang berkantor di Jakarta agak beda. Boleh jadi, sampai ke rumah jam tujuh atau lebih. Para sopir itu, meskipun di daerah tidak bisa pulang lebih cepat dari jam delapan malam. “Itu pun jarang kalilah Pak…” tambahnya lagi.
 
“Jarang bagaimana maksud Bapak?” Saya kembali bertanya.
“Yaaah kita kan mesti kejar setoran Pak. Kalau belum dapat, ya tidak bisa pulang…” jawabnya. “Ya kita tunggulah penumpang itu di bandara. Siapa tahu kita bisa dapat sewa kan?” katanya lagi. Kalau beruntung katanya mereka bisa mendapatkan orang yang mau menyewa jam 8 malam di bandara. Lalu mengantar ke lokasi, dan bisa pulang ke rumah sekitar jam sebelas malam. Kita yang bekerja di kota, memang kadang pulang sampai larut malam juga. Tapi, kita mengalaminya kadang-kadang saja. Kalau orang-orang yang saya bisa berbincang ini justru pulang jam 8 malam itu yang kadang-kadang.
 
“Tapi kalau kami ndak beruntung ya nunggulah sampai penerbangan terakhir yang jam 11 itu…” katanya lagi. Jika mereka dapat penumpang pada penerbangan terakhir itu, maka mereka bisa sampai ke rumah sekitar jam 3 pagi. Allahu Akbar, demikian saya terpekik didalam hati.
 
“Alhamdulillah kan kita dapat rezeki,” demikian saya merespon. Entah itu respon yang tepat, atau sekedar terucap karena tidak tahu mesti berkata apa lagi.
 
“Ya tidak mesti juga Pak…” jawaban itu sungguh tidak terduga.
“M-maksud Bapak?” Spontan saya bertanya begitu.
“Kalau nggak ada sewa – maksudnya orang yang mau menggunakan jasa mereka – maka kami tidur pula di bandara….” Katanya.
 
Ya Allah…, demikian batin saya setengah menjerit.
Perasaan. Seberat-beratnya pekerjaan saya dulu. Tidak pernah mesti sampai menginap dikantor. Ada sih periode yang berat. Misalnya ketika kami mesti membuat laporan keuangan ke kantor pusat. Atau ketika sedang ada project yang benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Tapi, perasaan sih kantor kami menyediakan penginapan yang layak. Kantor Anda juga begitu kan? Sedangkan para sopir itu ya tidurnya di jok mobilnyalah. Saya pernah merasakan bagaimana tidur di mobil. Ketika pergi berkemah digunung. Terus hujan lebat sehingga tenda kebanjiran. Lalu mengungsi kedalam mobil. Dan tahu persis bahwa tidur di jok mobil itu tidak begitu nyaman.
 
“Berapa bisa bawa pulang uang ke rumah?” pertanyaan saya kali ini sudah nakal sekali.
“Setelah dipotong setoran, minyak, bayar agen ya….dapatlah lima puluh ribu Pak,” katanya. Jawabannya membuat hati saya kembali menyebut nama Allah. Gaji saya dulu waktu masih menjadi salesman, juga tidak besar. Tapi pekerjaan saya, tidak seberat itu. Anda juga kan? Zaman sekarang UMR pun sudah lebih baik lagi. Dan untuk mendapatkannya, kita tidak mesti bekerja seperti para sopir itu. Alhamdulillah….
 
Dalam salah satu perjalanan itu, saya meminta sopir yang mengantar ke Bandara untuk mampir ke rumah makan. “Tolong cari yang paling enak ya Pak…” demikian saya  meminta. Ada yang enak sekali katanya, tapi setelah melihat ketersediaan waktu menjelang penerbangan saya tampaknya tidak cukup. Bisa terlambat kalau dipaksakan. “Bagaimana kalau kita ceck-in dulu sekarang, lalu kita pergi ke restoran itu?” maklum orang kota kan suka asal njeplak saja kalau meminta sesuatu. Tidak memikirkan dampaknya bagi orang yang mendengarnya.
 
Pak sopir itu berpikir beberapa saat, lalu katanya….”Nampaknya bisa juga Pak…” Lalu kendaraan kami pun melaju menuju ke Bandara. Sesampainya di Bandara, ternyata kondisi tidak seperti yang saya kira. Didaerah, fasilitasnya kan tidak seperti di kota. Early check-in tidak memungkinkan disini. Mesti nunggu 2 jam sebelum penerbangan. Padahal, tujuan saya justru ingin early check-in itu agar bisa pergi makan enak di restoran. Tapi mau bagaimana lagi kan? Saya tanya pak sopir. “Masih bisa Pak…” katanya. Sehingga saya pun menunggu sampai konter check-in dibuka setengah jam lagi. Setelah bisa ceck-ini, kami langsung meluncur ke restoran itu.
 
Tidak akan saya ceritakan soal nikmat, lezatnya sajian di restoran itu. Tapi akan saya ceritakan bagaimana selama perjalanan menuju dan kembali dari restoran itu pak sopir berkali-kali ditelepon. “Siapa itu?” saya bertanya. Dijawabnya bahwa itu orang kantor. “Kenapa mesti sesering itu mereka menelepon?” Jawabannya lebih mengejutkan lagi.
 
Orang kantor mengingatkan terus untuk memastikan saya tidak ketinggalan pesawat. Katanya, saya sekarang sepenuhnya menjadi tanggungjawabnya. Jika sampai terlambat maka dia harus mengganti tiket pesawat saya. Ya Allah. Padahal pergi ke restoran itu kan saya yang mau. Bahkan ketika kami sudah kembali ke bandara, sopir kami pun masih juga menerima telepon peringatan itu. “Bapak pernah mengganti tiket pesawat beneran?” saya bertanya.
“Pernah Pak,” jawabnya. “Satu juta delapan ratus ribu, Pak…” katanya.
Ya Allaaaaah, kali ini suara saya tidak bisa dipendam didalam hati. “Terus gimana dong?” demikian saya lampiaskan rasa penasaran.
 
“Dipotong penghasilan setiap hari sampai lunas Pak…”
Oh, Allah. Cukup. Saya sudah cukup mengerti pesan yang hendak Engkau sampaikan melalui kisah sopir pengantar saya ini. Tidak pernah terbayangkan selama ini jika ada orang-orang yang mesti bekerja dan pagi buta hingga bertemu pagi buta berikutnya. Hanya untuk mendapatkan 50 ribu rupiah nafkah keluarganya. Meski kadang bisa dapat lebih dari itu. Tapi, itu pun masih harus dipotong lagi untuk membayar biaya-biaya ini dan itu.
 
Sahabatku. Saya yakin. Jika Anda bisa membaca artikel saya. Anda bukan level pekerja seperti yang saya ceritakan. Anda, pasti punya pekerjaan yang kondisinya lebih baik dari mereka. Saya juga sama seperti Anda. Tetapi, kita. Kurang sering lupa mensyukuri pekerjaan ini. Sehingga jika karir kita tidak berkembang, ada banyak pihak yang bisa disalahkan. Jika penghasilan kita tidak memadai, ada orang yang bisa diadili. Padahal, selain karir kita ini lebih baik dari banyak sekali orang lainnya. Kita juga adalah pemegang stir kendaraan karir ini. Tidak seperti para sopir itu. Yang selain mesti menyetir kemana saja yang penumpangnya inginkan, mereka juga diganjar dengan imbalan yang tidak selalu sepadan.
 
Kita, bagaimanapun juga. Jauh lebih beruntung dari mereka. Karena selain kondisi kerja kita lebih baik. Bayaran yang lebih layak. Kita juga bisa menyetir kendaraan karir ini kearah mana saja yang kita suka. Tinggal kita syukuri lebih banyak. Dan kita mengambil keputusan untuk mengemudikannya kemasa depan yang lebih baik. Karena sahabatku, kita sendirilah yang mengemudikan stir karir ini. Dan kita akan lebih lega. Lebih bahagia. Lebih merasa bermakna. Jika mengemudikan stir karir ini, dalam rasa syukur.
 
-Dadang Kadarusman-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar