Minggu, 28 Juli 2013

Galau Itu Pertanda Bagus



Lah, galau kok dibilang pertanda bagus? Memang iyya. Soalnya, ketika mengalami galau sebenarnya kita menginginkan sebuah perubahan kan? Galau itu menunjukkan bahwa kita tidak nyaman dengan kondisi saat ini, dan menginginkan sesuatu yang lebih baik dari ini kan? Semua Nabi suci yang diutus Allah – sejauh yang saya pahami melalui kisah-kisahnya dari para guru dan kitab suci – menapaki seluruh perjalanan panjang kenabian mereka dengan kegelisahan didalam hati. Sama seperti kita. Bedanya, jika kita gelisah soal penghasilan, soal kenaikan jabatan, soal beratnya pengeluaran, atau pun soal sulitnya mencicil hutang-hutang; kalau pada Nabi itu gelisah oleh panggilan hati nuraninya yang menginginkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Kita bukan nabi. Tapi, ada beberapa hal yang bisa kita tiru dan terapkan. Apa itu?
 
Pas di bagian ‘menjadi pribadi yang lebih baik’-nya itu yang bisa kita contoh. Saya tidak punya kepentingan untuk mempertanyakan keyakinan dan agama Anda. Sudah sajalah, itu hak pribadi masing-masing. Tetapi selama Anda meyakini Tuhan yang sama, pasti ajaran sebenarnya yang datang dari Tuhan kita semua itu sama kan? Dan soal nabi-nabi pun ceritanya kira-kira sama. Nabi yang Anda imani, mungkin juga adalah Nabi yang tertera dalam daftar para Nabi yang saya imani. Jadi, meskipun agama kita mungkin beda; selama kita masing-masing berani meneladani nabi-nabi yang kita imani; maka kita pasti bisa menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari.
 
Betapa tidak. Semua Nabi. Dari yang paling miskin selama menjalani hidupnya hingga yang paling kaya adalah pribadi-pribadi mulia yang senantiasa gelisah untuk terus memperbaiki dirinya sendiri. Mereka, senantiasa bertanya kepada Ilahi tentang itu dan ini. Hingga tidak bosan-bosannya malaikat berbolak-balik turun naik antara langit dan bumi untuk menyampaikan jawaban yang Tuhan berikan atas setiap pertaanyaan suci yang dilantunkannya dalam dzikir-dzikir mereka yang nyaris tiada henti. Maka wajar, jika para Nabi yang kita imani itu meskipun sudah menjadi pribadi mulia, tapi teruuuuus saja mencari hikmah atas setiap kejadian yang ada disekelilingnya.
 
Mereka sedemikian pekanya dengan apa yang ada disekitarnya. Mereka berpikir dan terus berdzikir. Menemukan makna dalam setiap peristiwa yang ada. Kitab suci menyebut mereka sebagai ulil albab. Sebutan untuk orang-orang yang tidak melewatkan sedikitpun peristiwa untuk digali dan dicari hikmahnya. Karena Allah pun telah memfirmankan bahwa dalam setiap penciptaan di langit dan dibumi serta apa yang ada diantara keduanya terdapat tanda-tanda kebesaran Ilahi bagi ulil albab. Berapa banyak yang Tuhan sudah ciptakan? Nyaris tiada berbilang. Berapa lama proses belajar untuk memahami semuanya?
 
Maka itulah pula sebabnya Rasulullah menyampaikan bahwa proses belajarnya seorang hamba adalah dari buaian hingga liang lahat. Kita? Sering sudah merasa cukup dengan apa yang kita ketahui. Padahal boleh jadi bukan itulah pengetahuan yang sebenarnya. Nggak cukup begitu, kita masih merasa paling benar dibandingkan dengan orang berilmu lainnya. Ditambah lagi dengan kegagahperkasaan kita untuk mengklaim diri sendiri sebagai yang terbaik. Para Nabi, mencontohkan untuk terus galau memikirkan dan merenungkan. Untuk terus mengoreksi diri. Untuk terus menggali dan mencari.
 
Dizaman sekarang, mikirin pekerjaan saja sulit sulit ya? Mengapa lagi mesti dibebani dengan kewajiban agama segala? Begitu tuch jadinya jika kita mengira kalau agama itu tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Justru dalam agama diajarkan bagaimana kita berkarya dengan sebaik-baiknya. Sia-sia setiap amalan atau pekerjaan yang kita kerjakan secara asal-asalan. Lakukanlah setiap pekerjaan dengan sepenuh kesungguhan sehingga lewat pekerjaan itu tercermin siapa dirimu yang sesungguhnya. Dari hasil pekerjaan itu terlihat betapa Tuhan telah menciptakan dirimu sedemikian sempurnanya sehingga mampu membuahkan hasil karya yang sedemikian indahnya. Itu ajaran agama.
 
Ketika memegang amanah di kantor, maka jalankan amanah itu sebaik-baiknya. Hindari mengkhianati kepercayaan yang sudah diberikan kepada kita. Buang jauh-jauh sifat menyalahgunakan kewenangan yang sudah diletakkan di pundak kita untuk hal-hal yang tidak sepatutnya. Ajaran agama apa bukan tuch? Agama banget. Intinya. Kita bisa menjadi pekerja yang sangat bagus justru ketika kita memahami apa yang dicontohkan oleh para Nabi yang kita imani dalam cara mereka menjalani kehidupannya sehari-hari. Kenapa dibanyak kantor bejibun orang-orang yang tidak amanah? Itu karena mereka meninggalkan ajaran para nabinya. Kenapa dibanyak tempat begitu banyak orang yang tidak takut mengambil sesuatu yang bukan haknya? Jelas sekali dong. Mereka meninggalkan akhlak mulia yang diajarkan oleh para nabinya.
 
Gelisah hati para Nabi jika sedetik saja mereka jauh dari tuntunan Ilahi. Gelisah pula hati mereka jika belum memastikan bahwa setiap tindakan yang dilakukannya dirdoi Ilahi. Kita? Tergetar nggak hatinya kalau bekerja malas-malasan. Asal-asalan. Bahkan. Ketika kita berani melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak patut kita lakukan selama menjalani pekerjaan? Galau mestinya kita, untuk selalu tahu dan memastikan bahwa selama menjalani pekerjaan ini kita sudah melakukan dengan sebaik-baiknya.
 
Kenapa? Karena setiap kali kita galau untuk melakukan perbaikan, hal yang sudah baik pun bisa jadi lebih baik lagi. Didalam teori manajemen modern, itu disebut sebagai Continuous Improvement. Anda boleh percaya bahwa prinsip itu sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW melalui sabdanya; “Jika hari ini engkau lebih buruk dari hari kemarin, maka engkau bangkrut. Jika hari ini engkau sama seperti hari kemarin, maka engkau rugi. Dan jika hari ini engkau lebih baik dari hari kemarin, maka engkau beruntung…..” Nah galau yang seperti itu tuch yang pertanda bagus itu.
 
Catatan Kaki:
Galau itu sama seperti hal lainnya. Namun, jika kegalauan itu muncul dari dorongan untuk selalu meningkatkan kualitas pribadi, itu merupakan pertanda yang baik.
 
-Dadang Kadarusman-
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar