Pahala adalah hadiah yang diberikan Allah kepada manusia apabila ia
lulus dari ujian yang dihadapinya. Ujian-ujian ini pada dasarnya
terletak pada dua jalur, yaitu jalur hablum-minallah dan jalur
hablum-minannas. Pada kedua jalur ini, Allah dan Rasul-Nya tellah
menentukan “aturan main” bagaimana manusia itu harus bersikap. Misalnya
saja, dalam jalur hablum-minallah manusia diwajibkan shalat; da dalam
jalur hablum-minannas manusia diwajibkan berbuat baik terhadap
sesamanya. Semua “aturan main” ini tertuang lengkap dalam Al-Qur’an dan
Hadits Rasulullah SAW.
Barangsiapa yang dapat tetap patuh melaksanakan “aturan main” ini,
dengan niat semata-mata karena Allah, maka ia disebut orang yang
bertaqwa. Dan dia akan memperoleh pahala, yang kelak akan dirasakan
kenikmatannya di akhirat nanti. Jadi dengan perkataan lain, lading
tempat mencari pahala itu terletak pada jalur hablum minallah dan jalur
hablum-minannas, karena pada dua jalur inilah Allah menguji ketaatan
manusia mematuhi aturan-aturan yang ditentukan-Nya dalam Al-Qur’an dan
Hadits.
Allah melengkapi manusia dengan mata, telinga, dan hati bukan tanpa
tujuan. “perlengkapan” ini merupakan sarana bagi Allah untuk menguji
manusia, apakah dalam setiap situasi dan kondisi -baik atau pun buruk-
ia mampu tetap taat mengikuti “aturan main” yang sudah ditetapkan-Nya
atau tidak.
Simaklah baik-baik Surat Al-Insaan: 2, 3 berikut:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang
bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan),
karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (Al-Insaan: 2, 3)
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (Al-Insaan: 2, 3)
Supir ugal-ugalan di jalan raya, atasan yang menjengkelkan, kolega
yang picik, atau pun teman yang menyebalkan, ini semua terjadi karena
Allah melengkapi kita dengan mata, telinga, dan hati. Oleh karena itu,
orang-orang negatif ini harus dipandang sebagai ujian Allah pada jalur
hablum-minannas. Apabila orang-orang ini dapat kita hadapi sesuai dengan
tuntunan yang diberikan-Nya melalui Rasul-Nya, maka berarti kita
lulus. Sebaliknya, bila mereka itu kita hadapi dengan emosi atau nafsu,
maka berarti kita gagal. Hendaklah kita senantiasa mengingat
pengalaman para bijak, “Kepuasan sejati bukanlah menuruti hawa
nafsu, tetapi kepuasan sejati adalah keberhasilan menahan diri untuk
tidak mengikuti hawa nafsu.“
Dengan demikian, dapatlah dimengerti, bahwa semua masalah, baik itu
masalah hubungan dengan Allah (seperti misalnya rasa malas mendirikan
shalat), maupun masalah hubungan dengan manusia (misalnya menghadapi
orang yang menyebalkan), pada hakikatnya adalah hendak menguji kita,
mampu atau tidak untuk bersikap sesuai dengan kehendak Allah dan
Rasulullah SAW. Bila ujian ini berhasilkita atasi, artinya kita tetap
taat bertindak menurut ketentuan Al-Qur’an dan hadits dengan niat
“lillahi ta’ala”, maka tindakan kita itu dikategorikan sebagai amal
saleh, yang kelak akan diganjar dengan pahala. Dengan demikian, semakin
banyak amal saleh yang kita lakukan, maka semakin besar kemungkinan
kita untuk masuk ke dalam surga.
Lihatlah penegasan Allah dalam
Al-Qur’an berikut ini:
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh baik ia laki-laki maupun
perempuan sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke
dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun. (An-Nisaa: 124)
Dan surga itu diberikan kepada kamu berdasarkan amal yang telah kamu kerjakan. (Az-Zukhruf: 72)
Sesungguhnya orang-orang yag beriman dan beramal saleh, bagi mereka
adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal. Mereka kekal di dalamnya,
mereka tidak ingin berpindah daripadanya. (Al-Kahfi: 107, 108)
Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah:82)
Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga …… (An-Nisaa: 57)
Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, Kami
tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar
kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di
dalamnya. (Al-A’raaf: 42)
Dengan memahami hal di atas, akan dapat mencegah Nanda tertipu dan
terlena mengikuti emosi atau pikiran negatif, sehingga tidak akan
menyimpang dari aturan main yang ditetapkan-Nya. Dan insya Allah Nanda
tidak akan mengalami stress atau pun menjadi pendendam.
Adapun salah satu kiat untuk mengatasi kecenderungan hati pada
hal-hal yang negatif, adalah dengan mengendalikan mata. Bila kita
renungkan, mata itu pada hakikatnya adalah hanya alat (scanner) yang
memasukkan informasi ke dalam hati. Informasi yang masuk ke dalam hati
ini, akan menimbulkan kesan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, ada
seorang penderita penyakit kusta. Bila yang difokuskan oleh mata itu
adalah penyekitnya, maka niscaya hati akan niscaya hati akan memunculkan
kesan jijik. Tetapi bila yang difokuskan oleh mata segi manusiawinya,
maka yang akan timbul adalah rasa iba. Dikisahkan bahwa nabi Isa AS.
ketika berjalan dengan para muridnya, pernah menemukan bangkai seekor
anjing. Para muridnya serentak menutup hidung sambil menunjukkan rasa
jijiknya. Namun nabi Isa AS. tersenyum seolah-olah ia tidak melihat ada
bangkai di hadapannya. Beliau berkata, “Coba lihat giginya, betapa putihnya!” Inti pelajaran yang diberikan oleh nabi Isa AS. itu ialah, bila
mata dapat dikendalikan hanya untuk melihat kejadian dari segi-segi
positifnya saja, maka niscaya hati tidak akan memunculkan kesan negatif.
Kita dapat menggunakan “ilmu” nabi Isa tersebut untuk meredam rasa
iri hati yang kadang-kadang muncul secara spontan ketika mendenagr ada
teman kita yang lebih sukses atau lebih kaya dari kita. Caranya yaitu
dengan tidak memandang pada pangkat atau harta yang dimilikinya, tetapi
dengan mengingat pada kenyataan, bahwa soal rezeki itu memang dibuat
Allah berbeda-beda. Hal ini dilakukan-Nya semata-mata untuk menguji
manusia.
….. Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa
derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
(Al-An’am: 155)
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (An-Nisaa’:
32)
Nabi Muhammad SAW pun tampaknya sangat menyadari betapa beratnya
beban orang yang dititipi harta yang banyak. Hal ini tampak pada
perilaku hidupnya yang terkenal sederhana.
Pada salah satu haditsnya
diriwayatkan:
Rasulullah SAW bersabda : “Tuhanku telah menawarkan kepadaku untuk
menjadikan lapangan di kota Mekah menjadi emas. Aku berkata, “Jangan
Engkau jadikan emas wahai Tuhan! Tetapi cukuplah bagiku merasa kenyang
sehari, lapar sehari. Apabila aku lapar, maka aku dapat menghadap dan
mengingat-Mu, dan ketika aku kenyang aku dapat bersyukur memuji-Mu.”
(HR. Ahmad & Tarmidzi)
Sesungguhnya Allah telah melihat kepada rupa dan hartamu, tetapi Allah melihat kepada hati dan amalmu. (HR. Muslim)
Diambil dari renung.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar