Catatan Kepala:
”Jika orang yang disebut sebagai leader itu hanya menempatkan
bawahannya pada posisi sebagai pelaksana pekerjaan rutin, maka orang itu
belum berhasil menjadi ’leader’.”
Judul
artikel ini tidak dituangkan untuk menggugat atasan yang dinilai kurang
kompeten. Saya menggunakannya untuk mengajak Anda untuk melihat kedalam,
apakah didalam diri kita memang sudah ada tanda-tanda jika kita ini
memiliki kualitas pribadi yang memadai? Kualitas yang memadai untuk apa?
Untuk menjadikan diri kita layak disebut sebagai seorang leader.
Mengapa? Karena kita sering terlalu sibut mengejar titel jabatan, bukan
mengejar kompetensi. Setelah mendapatkan jabatan itu pun kita sering
terlampau sibuk untuk menjaga ‘citra’ sebagai pemimpin yang disegani
atau dipatuhi. Dan sering lupa, bahwa nilai diri kita sebagai pemimpin
hanya terletak kepada apa yang bisa kita lakukan saat menjalankan fungsi
kepemimpinan itu. Bukan pada titel mentereng kita. Jadi, mengapa
seseorang layak disebut pemimpin?
Beberapa
waktu lalu, saya menyaksikan sebuah forum yang dihadiri oleh para
pemipin. Ditengah hujan kritik atas nihilnya dampak kepemimpinan
organisasi, ada sebuah kalimat terlontar:”Kalaupun para pemimpinnya
diganti, apakah kebijakan dan pola kerja akan berubah hingga keadaan
menjadi lebih baik?” Pertanyaan itu keras. Provokatif. Dan berpotensi
menyinggung harga diri banyak pemimpin yang hadir. Namun, tak seorang
pun yang berani atau bersedia menjawabnya. Bisakah Anda memberikan
jawaban akurat? Faktanya, banyak sekali proses pergantian kepemimpinan
yang tidak menghasilkan perubahan apapun selain ‘nama pemimpinnya’.
Sedangkan hal-hal lainnya, berjalan seperti sebelumnya saja. Fakta ini
menunjukkan betapa banyaknya ‘leader’ yang tidak memiliki kualitas
kepemimpinan yang sesungguhnya. Memangnya apa saja sih kualitas
kepemimpinan
itu? Banyak teori. Dan banyak kriteria. Anda tidak akan kekurang
jenis-jenisnya. Bagi Anda yang tertarik menemani saya merenungkan apakah
kita layak disebut sebagai leader, saya ajak memulainya dengan memahami
5 kualitas kepemimpinan dari sudut pandang Natural Intelligence (NatIn™), berikut ini:
1. Menjadi yang terdepan, bukan sedekar mengikuti petunjuk dari orang lain.
Ada sebuah istilah yang sejak lama kita kenal, yaitu; ‘pemimpin
boneka’. Kelihatannya saja orang itu yang memimpin, namun sebenarnya dia
dikendalikan oleh orang lain. Keliru, jika kita menganggap bahwa
istilah itu hanya cocok digunakan pada masa penjajahan, atau ketika
suatu negara adi daya mengintervensi negara lain secara politik.
Pemimpin boneka juga banyak bertebaran di perusahaan-perusahaan. Hanya
saja, ‘kebonekaannya’ terjadi
secara sukarela. Lho, kok bisa? Bisa. Caranya; ya sudah, ikuti aja
petujunjuk dari boss besar atau atasan yang lebih tinggi. Tinggal di
‘cascade’ kepada bawahan kita. Selesai. Ini lho, jenis pemimpin boneka
dalam konteks kita. ‘WOOOOOOY! GUA TERSINGGUNG DISEBUT BONEKA!”
Alhamdulillah, bagus kalau begitu. Sehingga mulai sekarang, kita bisa
memposisikan diri di garis terdepan perjuangan bersama anggota team yang
kita pimpin.
2. Menjadi innovator, bukan sekedar melestarikan apa yang sudah ada.
Banyak pemimpin yang harus mengambil alih suatu posisi yang
ditinggalkan oleh pemimpin hebat sebelumnya. Sebagai pemimpin hebat,
tentu pendahulunya sudah mewariskan banyak hal hebat juga dalam team
itu. Namun ketika beliau pergi, maka penggantinya sering terpukau oleh
kehebatan pendahulunya. Semuanya sudah ‘tepat’ pada tempat dan
proporsinya, begitu system nilai yang kemudian berlaku. Maka tak heran,
jika setelah berkali-kali terjadi pergantian
kepemimpinan pun tidak ada perubahan yang signifikan di organisasi itu.
Benarkah hal itu karena pemimpin terdahulu sudah menjadikan
organisasisi itu sedemikian hebatnya? Bukan. Itu karena
pemimpin-pemimpin yang menggantikannya kemudian menempatkan dirinya
sebagai sekedar pelestari apa yang sudah ada selama ini. What about you?
3. Melahirkan gagasan-gagasan baru, bukan sekedar pelaku kebiasaan lama. Agak
aneh juga ya jika ada pemimpin yang dalam karir kepemimpinannya tidak
bisa melahirkan gagasan-gagasan baru. Kemane aje wooooooy….? Jelas
sekali jika itu mengindikasikan 2 kemungkinan. Sang pemimpin tidak
menjalankan tugasnya, atau hanya menjadi pelaku dari kebiasaan lama.
Menarik juga ketika ada orang yang jujur mengakui bahwa sebagai pemimpin
beliau bukan tipe pemikir. “Sulit untuk melahirkan gagasan baru bagi
orang yang bukan pemikir,” katanya. Sahabatku, gagasan baru itu
tidak harus besar. Tidak harus dipikir rumit. Sering bahkan dihasilkan
dari sebuah pertanyaan sederhana seperti ini;”Kalau kita melakukannya
dengan cara begini, hasilnya bagaimana ya?” So, start from there,
wherever you are.
4. Mencari terobosan, bukan sekedar terkungkung penjara rutinitas belaka. Bisa
dipastikan jika setiap kemandekan yang dialami oleh suatu organisasi
terjadi karena orang-orang didalam organisasi itu tidak menemukan ‘jalan
keluar’ dari pekerjaan rutin yang dilakukan begitu-begitu saja
sepanjang waktu. Padahal, kita tahu bahwa apa yang sesuai saat ini,
mungkin sudah obsolete 5 atau 10 tahun lagi. Kita memahami itu sambil
tetap kukuh berpegang pada praktek dan cara-cara yang sudah kita gunakan
sejak 5 atau 10 tahun yang lalu. Maka itu artinya hari ini, kita
sudah mulai memasuki lorong-lorong dead-end menuju kebuntuan.
Orang-orang hanya akan bisa membebaskan diri dari penjara rutinitas itu,
jika mampu mencari terobosan. Siapakah penaggungjawab ‘orang-orang itu’
itu? Karena kita leadernya, ya kitalah penanggungjawabnya. So, tugas
mencari terobosan itu ada pada pundak kita yang telah terlanjur berani
menyodorkan diri untuk menjadi pemimpin mereka.
5. Selalu bertanya; ‘Setelah ini, apa lagi ya?’. Tidak
pernah ada kata selesai bagi orang-orang yang senantiasa membiarkan
otaknya terjaga. Bangun. Melek. Dan terus berputar. Karena orang-orang
seperti itu tidak pernah berhenti meski ‘baru saja’ menyelesaikan sebuah
tugas yang sangat besar. Bahkan, dalam tidur pun mereka bermimpi
tentang sesuatu yang mungkin bisa dilakukannya lebih baik bagi dirinya
sendiri. Bagi orang lain. Bagi organisasi yang dipimpinnya. Bagi dunia.
Karena mereka
percaya, bahwa seperti halnya Tuhan yang tidak pernah berhenti
berkarya; Tuhan suka sekali pada hambanya yang terus menerus
mengeksplorasi diri melalui pertanyaan; “setelah ini, apa lagi?” Dari
pertanyaan sederhana itulah inovasi lahir. Pemikiran baru muncul.
Gagasan brilian berlompatan. So, keep asking; “Setelah ini, apa lagi?”
Perusahaan membutuhkan leaders
yang memiliki ke-5 kualitas diatas. Karena tantangan bisnis yang
dihadapi oleh perusahaan semakin hari semakin besar. Bisa berupa
tantangan yang datang dari luar atau kompetitor yang terus menerus
menggerus pangsa pasar. Bisa juga yang datang dari internal perusahaan
sendiri berupa visi dan misi serta target-target pertumbuhan yang
semakin menantang. Tanpa ke-5 kualitas itu? Seseorang hanya akan menjadi
semakin frustrasi, dan akhirnya tanpa daya menyerah kepada keadaan.
Sebaliknya, mereka yang memiliki ke-5 kualitas itu selalu menjadi leader
yang bisa diandalkan untuk membawa team yang dipimpinnya menuju
pencapaian tinggi. Jika sekarang Anda berencana untuk pergi ke toilet,
siapkan pertanyaan ini; mengapa Anda layak disebut
leader? Kepada siapa pertanyaan itu diajukan? Kepada dinding toilet
yang dilapisi cermin.
milis wordsmartcenter
www.dadangkadarusman.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar