Setelah curhat itu, aku akhirnya menyepakati untuk bertemu dengan lelaki itu sekali lagi, dengan didampingi oleh temanku dan suaminya. Di sana, di luar dugaanku, lelaki itu justru memintaku untuk menjadi istrinya. Ia berkeinginan untuk meminangku. Lihatlah, ini berjalan terlalu cepat bagiku. Hingga akhirnya kusadari bahwa aku tak layak bersanding dengannya. Saat itu, aku hanya bengong dan meminta banyak waktu untuk menjawabnya. Meski aku bahagia mendengarnya, tapi jujur, aku merasa ada yang kurang dengan diriku.
Sampai di rumah, bukannya aku menceritakan hal itu pada orang tuaku, tapi aku malah menyendiri di kamar. Selama tiga hari ritualku hanya ada di kamar, kamar, dan kamar, selain keluar untuk ke kantor, selebihnya kamar lagi. Ibuku bingung dengan apa yang terjadi denganku, namun aku tetap saja bungkam. Aku tidak mau beliau tahu di waktu yang aku sendiri belum siap.
Selama tiga hari itu, aku menelpon Lastri, teman lamaku. Aku banyak menanyakan keseriusan lelaki yang telah melamarku itu. Mulai dari sikap, sifat, karakter, keseharian, semuanya. Sayang, Lastri hanya menjawab bahwa lelaki itu adalah seorang yang alim dan taat pada ajaran agama. Jelas, saat itu juga aku bungkam seribu bahasa. Bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan pria yang jelas-jelas jauh di atasku tersebut?
Aku berkaca, sholat saja aku sering kali sengaja meletakkannya di akhir waktu. Mengaji, hanya sesekali, itu pun kalau ingat. Sedangkan ajaran agamaku yang lain? Aku tak pernah menjalankan di luar ajaran-ajaran yang wajib dilakukan. Padahal, ajaran yang wajib saja aku sering telat, apalagi sunnah.
Aku berkaca kembali, benarkah aku layak disandingkan dengan lelaki yang demikian? Benarkah aku bisa menjaga keluargaku kelak dari bahaya siksa neraka yang panas dan kejam itu? Lututku lemas, ada rasa yang menyergap hebat pada hatiku. Ada sebuah bisikan agar aku segera memperbaiki diri. Satu, mungkin aku memang mencintainya. Dua, aku ingin mempunyai suami yang demikian, yang bisa membimbingku kelak. Tiga, itu artinya aku harus memperbaiki diri. Bergegas kuteguhkan niatku.
Memang perubahan bukanlah hal yang mudah, tapi ternyata Tuhan membantuku. Berbagai kemudahan dalam niatanku untuk berubah berhasil kulakukan dalam waktu tiga bulan, dan aku memang terus berbenah. Aku yakin, aku bisa membenahi diriku hingga akhirnya aku bisa menyebut diriku layak disandingkan dengan dirinya.
Hingga akhirnya waktu itu tiba, sebelum kukatakan jawaban atas malam-malam panjangku, dia, lelaki itu mengucapkan sesuatu hal yang benar-benar kembali membuat lututku lemas seketika.
"Aku mencintaimu karena Allah, bukan karena banyak hal yang ada pada dirimu, entah jabatan, kekayaan, dan popularitas, bukan karena itu. Karena aku memang mencintaimu karena Allah. Kulihat, kau taat dengan agamamu, sesekali ada dalam majelis pengajian dan sering kulihat selalu menjalankan ibadah."
Jujur saja, dia tidak tahu apa yang sebenarnya ada pada diriku jauh sebelum dia mengenalku. Mungkin, ia melihatku sesekali dalam tempat yang disebutkan tadi, tapi keseharianku? Masyaallah, seketika aku menangis di depannya, aku merasa rendah sekali di hadapannya, terlebih di hadapan-Nya.
**
Begitulah, cinta sejati. Bukan karena kita saling mencintai pada pasangan kita, tapi cinta sejati adalah cinta yang ada Tuhan di antara kita dan pasangan. Semata-mata hanya ditujukan pada Tuhan, pencipta segala cinta yang ada di bumi.
Diambi dari Vemale.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar