Selasa, 06 Maret 2012

Memimpin Dengan Keteladanan




Catatan Kepala: ”Setiap pemimpin bisa memerintahkan bawahannya melakukan sesuatu. Namun kata-kata yang paling ampuh datang dari mereka yang mengucapkannya dengan perbuatan.”

Bayangkan jika suatu ketika Anda diminta oleh seseorang untuk bekerja dengan disiplin tinggi. Tapi orang itu sendiri tidak berdisiplin. Bayangkan juga ketika Anda diperintahkan untuk bekerja secara efektif dan efisien. Namun orang yang menyuruhnya terlihat santai-santai saja. Saya tidak perlu bertanya bagaimana perasaan Anda. Karena normalnya, tidak ada orang yang suka dengan tuntutan standar kerja tinggi dari orang-orang yang standar kinerja pribadinya sendiri rendah. Sekalipun demikian, saya tidak akan mengajak Anda untuk menggunjingkan orang lain. Saya lebih tertarik untuk mengajak Anda membayangkan  seandainya yang menuntut itu adalah kita. Namun, kita sendiri tidak melakukan apa yang kita tuntut kepada orang lain. Bisa dibayangkan betapa tidak berharganya kata-kata kita. Hal ini tidak hanya berlaku dalam kepemimpinan formal ketika kita berurusan dengan anak buah. Melainkan juga dalam aspek kehidupan lainnya. Karena apa yang kita lakukan suaranya lebih nyaring daripada apa yang kita katakan, bukan? Maka menuntut orang lain dengan standar tinggi itu sebaiknya didahului oleh kesungguhan kita untuk menerapkan standar tinggi kepada diri sendiri.

Orang-orang yang dipimpin oleh Leroy Jethro Gibbs mempunyai gaya dan keunikannya masing-masing. Secara individu, mereka adalah orang-orang dengan pride-nya masing-masing, memiliki ego tinggi, dan punya banyak perbedaan. Namun dalam urusan pekerjaan, mereka fokus dalam usaha penyelesaiannya. Mereka sering harus bekerja ekstra. Dan ketika disarankan untuk beristirahat, mereka berkata; ‘kami beristirahat jika pekerjaan telah selesai’. Bagaimana Gibbs bisa mempunyai team yang sedemikian berdedikasi? Jawabannya;”Gibbs, menjadikan dirinya sendiri sebagai orang pertama yang memberikan dedikasi pada tingkatan tertinggi.” Lalu orang-orang yang dipimpinnya melihat hal itu sehingga mereka menyesuaikan diri dengannnya. Orang-orang dengan kemampuan tinggi biasanya adalah mereka yang mempunyai kepribadian kuat. Efek sampingnya, mereka tidak mudah ‘menyatu’ dengan orang lain. Kadang keras kepala. Dan susah diatur. Seperti orang-orang di team Gibbs. Untuk orang-orang seperti itu, hanya ada satu jenis pemimpin yang cocok. Yaitu, pemimpin yang sanggup memimpin dengan keteladan pribadinya. Yang hanya bicara, pasti akan dilecehkan. Kenapa? Karena orang-orang itu punya standar pribadi yang tinggi. Yang hanya bisa diimbangi oleh keteladanan yang ditunjukkan oleh atasannya. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memimpin dengan keteladanan, saya ajak memulainya dengan menerapkan 5 prinsip Natural Intelligence (NatIn™)berikut ini:  

1.      Terapkan standar pribadi yang tinggi. Alasan mengapa kita pantas menjadi seorang pemimpin adalah karena kita bisa diharapkan untuk menjadi pribadi terbaik dikelompok itu. Dan kita, tidak mungkin menjadi pribadi terbaik jika menerapkan standar pribadi yang rendah. Memang sih, lebih enak untuk menerapkan standar kerja rendah. Kerjaannya menjadi gampang. Bisa memiliki banyak waktu luang. “Bisa menikmati hidup,” jika Anda lebih suka menyebutnya demikian. Apalagi sekarang kita sudah menjadi ‘boss’. Keliru. Semakin tinggi posisi kita, justru semakin besar tuntutan untuk menjadi pribadi yang mumpuni. Sebagai seorang pemimpin, kita dilihat oleh orang-orang yang kita pimpin. Bagaimana mungkin mereka terdorong untuk melakukan yang terbaik jika kita sendiri tidak melakukannya? Kata-kata kita, tidak akan memiliki kekuatan sama sekali dihadapan mereka. Toh mereka juga tahu jika kita sendiri tidak seperti yang kita tuntut kepada mereka. Kalaupun mereka menurut, itu bukan karena rasa hormat. Melainkan karena terpaksa harus menuruti kata-kata atasannya. Hal itu juga termasuk etika kita kepada atasan. Jika kita tidak menunjukkan respek kepada atasan kita, bagaimana para bawahan bisa respek pada kita?  Walhasil, semua yang kita lakukan itulah yang akan ditiru oleh bawahan kita. Maka kita, perlu menerapkan standar yang tinggi untuk diri kita sendiri. Baik berkaitan dengan penyelesaian pekerjaan. Maupun sikap, perilaku dan juga etika kita.

2.      Standar pribadi hanya berlaku bagi diri sendiri. Kita sering tergoda untuk menyamaratakan semua orang. Sehingga kita mengira jika standar tinggi yang kita terapkan untuk diri sendiri akan cocok juga bagi orang lain. Maka kita menuntut orang-orang yang kita pimpin untuk menerapkan standar atau perilaku yang sama seperti kita. Padahal, setiap orang memiliki kapasitas dan dorongan dari dalam dirinya dengan kadar yang berbeda-beda. Meskipun kita atasannya, kita tidak berhak untuk memaksanya. Kita hanya bisa mengajak mereka untuk sama-sama melakukannya. Gibbs misalnya. Menyuruh anak buahnya pulang meskipun dia sendiri harus bekerja lembur. “Gue nggak mau lihat muke elo pade lebih dari jam 7 masih ada di kantor,” itu kalimat yang pernah saya katakan kepada teman saya. Padahal saya sendiri kadang harus pulang larut malam. Bukankah banyak bawahan yang sungkan pulang, kalau atasannya masih berada di kantor? Sabtu dan minggu kadang saya mendapatkan tugas dari boss. Selama mampu melakukannya, saya tidak pernah menelepon anggota team di hari libur. Karena saya tahu, bahwa mereka sudah memberikan kinerja baik dihari Senin sampai Jumat. Dan mereka berhak menikmati hari liburnya. Gibbs pun demikian. Hanya meminta anggota teamnya bekerja ekstra, jika dia sendiri benar-benar tidak lagi mampu mengatasinya. Namun, sebelum menelepon anak buahnya untuk pekerjaan ekstra itu; dia terlebih dahulu mengerahkan kemampuan dirinya sendiri. Kenapa? Karena standar pribadi, hanya berlaku bagi diri sendiri. Sedangkan kepada orang-orang yang kita pimpin, kita tidak bisa memaksanya. Kita, hanya bisa menunjukkan keteladanan kepada mereka.

3.      Orang-orang sulitpun respek pada keteladanan. Kita mengenal istilah ‘difficult people’. Artinya orang yang sulit diatur. Namun sejauh yang saya tahu, penyebab utama orang jadi sulit diatur adalah; lemahnya figur kepemimpinan. Orang-orang yang sulit diatur itu justru sangat respek kepada atasan atau pemimpinnya yang pantas diteladani. Mereka mungkin melecehkan pemimpin yang sekedar bicara atau tidak sanggup melakukan sesuatu yang bermakna bagi teamnya. Namun kepada pemimpin yang sanggup menunjukkan keteladanan; mereka tidak berani neko-neko. Semua orang di team Gibbs adalah orang-orang bandel yang sulit diatur. Namun dibawah kepemimpinannya? Kebandelan berubah menjadi keuletan dan kegigihan. Kenapa bisa begitu? Manusia mempunyai sifat dasar berupa respek terhadap orang-orang yang memiliki kemampuan dalam menjalankan tugasnya. Termasuk mereka yang ‘tampaknya’ tidak pandai menghargai orang lain sekalipun. Hati kecilnya menaruh hormat kepada seseorang yang bisa membuktikan kemampuannya. Maka sekalipun mereka tidak menyukai pribadi pemimpinnya, jika sang pemimpin menunjukkan dedikasi dan kinerja yang tinggi; mereka akan tergerak untuk menyelesaikan tugas-tugas pokoknya.

4.      Fokus kepada orang-orang yang mau berubah. Harus kita akui bahwa kemungkinan ada orang yang ‘ndablek’ yang tetap saja ndablek. Sudah dilakukan usaha apapun, tetap saja mereka mempersulit keadaan. Tidak peduli atasannya sudah berbuat baik. Sudah mencontohkan. Sudah menjadi teladan. Tapi mereka tidak bergeming. Orang-orang sulit kadang hanya sekedar ingin menunjukkan bahwa mereka tidak bisa diperintah.  Makanya, kepada mereka jangan sesekali memerintah. Juga tidak perlu meminta mereka bekerja ekstra. Cukup menuntut mereka menyelesaikan tugas pokok sesuai standard minimum yang digariskan oleh perusahaan saja. Selama tugas utama mereka selesai, maka selesai pula urusan Anda dengan mereka. Dengan begitu kita tidak terlalu banyak membuang waktu untuk mereka. Bagaimana jika tugas pokoknya tidak selesai? Tidak usah khawatir kalau anggota team Anda yang lain bisa menghasilkan kinerja bagus. Ini bukan soal menutupi kekurangan 1 atau 2 anggota team yang mbalelo. Melainkan menunjukkan bahwa mereka berkinerja buruk diantara orang-orang yang berkinerja baik. Sehingga makin buruk hasil kerja mereka, makin kontras kualitasnya dihadapan para anggota team lainnya yang berdedikasi tinggi. Maka alokasikanlah lebih banyak waktu dan perhatian bagi orang-orang yang bersikap dan berperilaku positif. Berlarilah bersama mereka yang memiliki gairah untuk membuat pencapain tinggi. Dan itu bisa kita mulai dengan cara berfokus kepada orang-orang yang mau berubah.

5.      Berada digaris perjuangan paling depan. Para raja zaman dahulu pada umumnya sakti-sakti. Nggak bisa jadi raja, kalau nggak sakti. Maka setiap pangeran dilatih ilmu perang sedari kecil. Diajari strategy sejak kanak-kanak. Sehingga kelak ketika beranjak dewasa, mereka bisa menjadi seperkasa ayahandanya. Pengganti raja yang lembek, rawan untuk dikalahkan. Baik oleh musuh dari luar. Maupun oleh orang sakti dari dalam. Meski konteks kepemimpinan zaman sekarang sudah berubah, namun ‘prinsip’ menjadi raja sakti itu tetap berlaku hingga saat ini. Kita hanya akan bisa menjadi pemimpin yang solid bagi team kita jika dan hanya jika kita memang mempunyai kemampuan yang memadai untuk memimpin mereka. Dan hal itu ditunjukkan oleh kesediaan kita untuk berada digaris paling depan arena kerja keras dan perjuangan mereka. Raja yang lemah tidak mungkin berani berada di medan perang. Pemimpin yang lembek tidak mungkin punya cukup rasa percaya diri untuk berjuang bersama anak buahnya di lapangan. Maka berada di garis perjuangan paling depan merupakan indikasi jika seseorang merupakan pemimpin yang layak diteladani. Tetapi, berada di garis terdepan tidak selalu harus dalam pengertian kehadiran fisik belaka. Kita tidak harus selalu ada secara fisik bersama mereka dalam mengerjakan tugas-tugas operasionalnya. Hal terpentingnya adalah; berada bersama mereka secara emosi, pola perilaku, dan penerapan nilai-nilai kedisiplinan profesionalitas yang kita tetapkan.

Mungkin kita masih suka mengira bahwa apa yang kita katakan itu akan menguap begitu saja. Tidak. Orang lain bahkan bisa mengingat kata-kata yang kita sendiri sudah lupa jika dulu pernah mengatakannya. Anda pun demikian. Masih ingat apa yang dikatakan oleh seseorang dimasa lalu. Jika sekarang Anda melihat perilaku orang itu bertolak belakang dengan kata-kata yang pernah diucapkannya, maka batin Anda  langsung membunyikan alarm; “dulu dia ngomong begini, sekarang dia berlaku begono…” Sekali saja kita melanggar kata-kata kita sendiri; maka kepercayaan bawahan kepada kita, langsung sirna pada saat itu juga. Maka salah satu bentuk tanggungjawab kita kepada orang-orang yang kita pimpin adalah; melakukannya. Guru kehidupan saya pernah mengingatkan bahwa; “Tuhan itu sungguh sangat marah kepada orang-orang yang mengatakan sesuatu yang tidak dilakukannya.” Eh, rupanya kalimat itu adalah firman Tuhan dalam kitab suci.  Maka ketika kita berusaha keras untuk menyelaraskan kata-kata yang kita tuntut kepada anak buah kita dengan perilaku kita sendiri, sesungguhnya kita tidak hanya sekedar sedang memberikan keteladanan. Lebih dari itu, kita sedang menjalankan perintah dalam firman Tuhan. Jika kita menyuruh anak buah kita berdisiplin dan berkinerja tinggi. Lalu kita mencontohkanya sendiri. Maka kita telah menjadi pribadi yang layak diteladani. Sekaligus mengamalkan tuntunan Ilahi.

Catatan Kaki:
Perilaku seorang pemimpin terdengar jauh lebih nyaring daripada kata-kata yang menyusun kalimat-kalimat berisi perintahnya.

Diambil dari milis Wordsmartcenter
- Dadang Kadarusman -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar